NOWTOOLINE, LAMONGAN – Penanganan kasus dugaan korupsi terkait proyek pembangunan gedung Pemerintah Kabupaten Lamongan pada periode 2017-2019 terus menuai kritik. Sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan dimulainya penyidikan, Jumat (15/9/2023), hingga kini belum ada kepastian hukum.
Memasuki Oktober 2024, langkah tegas dari lembaga negara anti rasuah tersebut terhadap tersangka yang terlibat masih belum terlihat.
Meski KPK telah menetapkan sejumlah pihak sebagai tersangka, identitas mereka belum diungkapkan ke publik. Hingga kini, penyidik KPK memilih untuk menunggu upaya paksa penangkapan atau penahanan sebelum membuka nama-nama tersebut.
Bupati Lamongan, Yuhronur Efendi, yang turut diperiksa sebagai saksi pada Kamis (12/10/2023), saat ini mencuri perhatian karena posisinya sebagai salah satu kandidat dalam Pilkada Kabupaten Lamongan 2024.
Namun, alih-alih menjernihkan situasi, penanganan kasus ini justru mengundang kekecewaan dari berbagai pihak, termasuk aktivis anti-korupsi.
Moh Hosen, aktivis dari KAKI Jatim, secara tegas mendesak KPK untuk segera menetapkan Yuhronur Efendi sebagai tersangka dalam dugaan korupsi yang merugikan keuangan negara hingga Rp151 miliar.
Ia menyayangkan lambatnya kinerja KPK dalam menangani kasus ini, terutama bila dibandingkan dengan penanganan korupsi di Kabupaten Sidoarjo, yang lebih cepat menyeret Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali ke penjara dalam kasus korupsi senilai Rp8,5 miliar.
“Lamongan jelas melibatkan angka yang jauh lebih besar, tapi anehnya Sidoarjo yang lebih dulu diproses. Ada apa di balik lambatnya penetapan tersangka di Lamongan? Masyarakat mulai mencurigai adanya permainan di balik layar antara penyidik KPK dan Yuhronur Efendi,” ujar Hosen, Kamis (10/10/2024).
Hosen menambahkan bahwa sebagai lembaga anti-korupsi, KPK seharusnya bergerak cepat dan tegas. “Jika KPK tidak segera menetapkan Yuhronur Efendi sebagai tersangka, maka citra KPK akan semakin buruk. Ini seperti KPK mendukung calon pemimpin yang diduga terlibat korupsi,” katanya.
Desakan dari KAKI Jatim ini menjadi sinyal kuat bahwa publik tak lagi sabar menunggu langkah nyata dari KPK. “Kinerja lambat dalam penanganan kasus ini berpotensi mencoreng kepercayaan publik terhadap komitmen lembaga ini dalam memberantas korupsi tanpa pandang bulu,” tutur Hosen.