NOWTOOLINE, LAMONGAN – Skandal dugaan jual beli tiket jabatan Perangkat Desa (Perades) kembali meledak di Pemerintahan Desa Takeranklating, Kecamatan Tikung, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.
Nama Kepala Desa Yasmu’in kembali jadi sorotan publik setelah sederet penjaringajn dan pengangkatan Perades diwarnai kabar tak sedap karena harga jabatan yang dibanderol hingga Rp 200 juta.
Setelah sebelumnya ramai dugaan jual beli jabatan Kasi Pelayanan, kini giliran jabatan Kepala Dusun (Kasun) yang disorot tajam.
Kusmani, warga setempat secara terbuka mengungkap praktik komoditas kekuasaan yang diduga dilakukan Yasmu’in.
Bukan isu angin lalu, Kusmani mengaku pernah langsung bertanya ke sang Kades, mengapa seorang sukwan yang telah mengabdi 2 tahun 8 bulan di kantor desa tak dipilih menjadi Kasun Klating.
“Jawaban Kades ke saya, karena sukwan itu gak duwe duik,” ujar Kusmani blak-blakan. Artinya sudah jelas, tanpa uang, jangan mimpi jadi Perades, Senin (26/5/2025).
Pengangkatan anak dari H Asip sebagai Kasun Klating disebut-sebut kuat mengandung muatan uang pelicin. Hal ini dikaitkan dengan penjualan sawah H Asip senilai Rp 300 juta.
“Tafsiran saya menguat bahwa Rp 200 juta dari hasil penjualan itu disetorkan kepada Kades Yasmu’in sebagai tiket anaknya jadi Kasun Klating,” katanya.
Skema ini bukan sekali terjadi. Nama Abdul Hanif, anak dari mantan Kades Takeranklating H Sun’an, juga disebut dalam pusaran jual beli jabatan.
Kusmani mengungkap bahwa Kades Yasmu’in sendiri yang memintanya untuk mencarikan calon Kasun dari Dusun Genceng. Tawaran itu datang dengan harga senilai Rp 200 juta.
“H Sun’an setuju. Anaknya ikut seleksi dan otomatis nilainya unggul dari peserta lain,” beber Kusmani, menyiratkan ironi soal meritokrasi yang hanya jadi pajangan.
Jabatan Kasun Mojolegi juga tak lepas dari aroma serupa. Mediator bernama Dakim disebut menawarkan dua calon ke Kades Yasmu’in. Saat ditanya berapa banderol yang diminta, jawaban Dakim menusuk logika publik.
“Pak Kades tetep njaluk larang (minta mahal) senilai Rp 200 juta untuk jabatan Kasun Mojolegi,” tuturnya.
Rentetan kasus ini semakin menegaskan bahwa jabatan Perades di Desa Takeranklating bukan lagi soal kemampuan dan pengabdian, tapi siapa yang punya cukup amunisi atau uang ratusan juta.
Desa yang seharusnya menjadi pondasi pelayanan publik justru berubah menjadi pasar kekuasaan dengan tarif yang fantastis atau selangit.
Lebih menyakitkan, skandal ini berjalan diduga tanpa pengawasan serius dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Kabupaten Lamongan.
Gatot Sugiharto, Sekretaris Dinas PMD Lamongan, seolah lepas tangan. “Kita hanya menunggu aduan dari masyarakat. Soal teknis penjaringan, itu kewenangan Kades,” kata Gatot.
Lebih lanjut, Gatot menuturkan, kalau memang nanti Kepala Desa tersebut benar-benar diproses sesuai bukti yang ada pihaknya akan menerbitkan surat istilahnya pelepasan.
“Tapi harapan kami, pihak Kecamatan setempat terlebih dahulu membuat surat ke PMD. Kemudian kita membuat surat rekomendasi berdasarkan bukti-bukti yang ada,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas PMD Lamongan, Joko Raharto, bahkan menyederhanakan isu skandal dugaan jual beli tiket jabatan Perangkat Desa di Pemerintah Desa Takeranklating tersebut seakan-akan telah dilegalisasi.
“Itu hanya masalah administratif saja,” ujar Joko., Kadis PMD Lamongan.
Hingga kini, Kepala Desa Takeranklating Yasmu’in belum memberikan klarifikasi. Namun jika dugaan ini benar, maka harga demokrasi di tingkat desa hanyalah Rp 200 juta.