Tanpa Izin Bupati dan DPRD Lamongan, Kades Tiwet Diduga Alihkan Lokasi Proyek TPT Rp 75 Juta

TPT Desa Tiwet-Blajo yang lokasinya diduga dirubah tanpa persetujuan dari Bupati dan DPRD Lamongan, (Foto : Arianda)

NOWTOOLINE, LAMONGAN – Proyek pembangunan Tembok Penahan Tanah (TPT) Desa Tiwet ke Desa Blajo senilai Rp 75 juta di Desa Tiwet, Kecamatan Kalitengah, Kabupaten Lamongan, kembali menjadi perbincangan hangat.

Proyek tersebut bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2023 melalui skema Bantuan Keuangan Kepada Pemerintah Desa (BKKPD).

Tak hanya menjadi sorotan tapi juga menuai kritik tajam lantaran diduga dilaksanakan di lokasi yang berbeda dari yang tercantum dalam APBD dan Surat Keputusan (SK) Bupati Lamongan.

Dalam wawacara, Rabu (15/1/2025) lalu, Kepala Desa Tiwet, Ahmad Syaifuddin Zuhri membantah adanya perubahan lokasi proyek. “Lokasi pembangunan sudah sesuai, tidak ada yang dirubah,” kata Syaifuddin.

Proyek Diduga Dibeli dan Dipotong 30 Persen

Menariknya, Syaifuddin tanpa ragu mengungkapkan bahwa proyek ini diperoleh melalui mekanisme jual beli. Ia menyebutkan bahwa proyek tersebut diperoleh dari anggota DPRD Lamongan.

“Yang Rp 75 juta beli dari anggota dewan Lamongan. Sudah biasa kalau ada potongan 30 persen, itu memang mekanismenya,” ujarnya tanpa ragu. Pernyataan ini memantik pertanyaan lebih besar tentang transparansi dan tata kelola anggaran desa.

Kepala Desa Tiwet, Ahmad Syaifuddin Zuhri

Tak Sesuai Prosedur, Berpotensi Langgar Hukum

Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, perubahan anggaran, termasuk perubahan lokasi proyek, harus melalui mekanisme resmi, seperti revisi APBD atau penyesuaian dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) yang mendapat persetujuan Bupati dan DPRD.

Jika perubahan lokasi dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas, hal ini berpotensi melanggar UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang mengatur pengelolaan keuangan daerah secara transparan dan akuntabel.

Ketika ditanya lebih lanjut apakah perubahan lokasi proyek telah melalui Musyawarah Desa (Musdes), Syaifuddin hanya menjawab singkat, “Itu keinginan warga.” Pernyataan ini justru mempertegas dugaan bahwa mekanisme administratif tidak dilakukan sesuai prosedur.