NOWTOOLINE, LAMONGAN – Kepala Desa Pandanpancur (Kades Pandanpancur) Supadi mengaku, tidak pernah menjual saluran irigasi atau sungai buntu yang berada di areal PT Thai Union Kharisma Lestari (PT TUKL).
Menurutnya, saluran irigasi yang merupakan aset desa itu hanya dipakai oleh PT Thai Union Kharisma Lestari (PT TUKL) dan ada kompensasi untuk dusun dan desa sebesar Rp 100 juta.
“Uang Rp 100 juta diterimakan Rp 70 juta untuk Dusun Nginjen dan Rp 30 juta untuk Desa Pandanpancur. Jadi tidak benar kalau saya menjual, tapi ada kompensasi dari perusahaan,” ujar Supadi, Rabu (11/5/2022).
Uang kompensasi tersebut, tambah Supadi, juga dimanfaatkan untuk pembangunan desa dan dusun lengkap dengan SPJ-nya.
Sebelum proses pemakaian oleh perusahaan, Supadi juga mengaku sudah berkoordinasi dengan Dinas Pengairan Provinsi.
“Penjelasan, dinas pengairan memperbolehkan asal ada musyawarah yang melibatkan, BPD, perangkat desa, RT, RW, dan tokoh masyarakat. Proses musyawarah itu sudah kami lakukan. Jadi tidak ada yang menjual sungai atau kali,” kata Supadi.
Kompensasi adalah istilah yang barangkali sudah tak asing lagi di telinga. Arti kompensasi sendiri seringkali disamakan dengan ganti rugi.
Dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kompensasi adalah imbalan berupa uang atau bukan uang (natura), yang diberikan kepada karyawan dalam perusahaan atau organisasi.
Masih menurut KBBI, arti kompensasi lainnya yakni pemberesan piutang dengan memberikan barang-barang yang seharga dengan utangnya.
Arti kompensasi yang lebih luas mencakup uang yang terutang sebagai ganti kepada pihak yang dirugikan atau dirugikan oleh pihak yang bertanggung jawab.
Sebelumnya, Kades Pandanpancur, Kecamatan Deket, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur dilaporkan ke Polres Lamongan oleh warganya.
Pelapornya adalah Sekan. Dia melayangkan laporannya tersebut terkait dugaan korupsi penjualan aset desa berupa saluran irigasi atau sungai buntu yang berada di areal PT TUKL.
“Ada dugaan penyimpangan yang dilakukan oleh Kepala Desa Pandanpancur karena telah menjual aset desa berupa saluran irigasi atau kali,” kata Sekan.
Menurut Sekan, sejumlah kejanggalan muncul saat penjualan irigasi tersebut. Seperti irigasi tidak tercatat dalam buku C desa. Meski demikian irigasi tergambar dalam kretek desa dan peta blok Pajak Bumi dan Bangunan.
Tak hanya, penjualan aset tersebut juga dilakukan dengan tidak transparan. Salah satunya yakni terkait luas irigasi yang hanya ditulis 269 meter persegi.
“Saat ini juga telah dikeluarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) Nomor Obyek Pajak (NOP) atas nama PT yang membeli,” ujarnya.
Sekan menambahkan saluran irigasi itu diketahui hanya dijual senilai Rp 100 juta. Padahal sebagai pembanding tanah masyarakat di sekitar lokasi itu harganya sudah di atas Rp 650 ribu permeter persegi.
Sekan juga menyebut penjualan itu tanpa dilakukan musyawarah. Padahal pengelolaan kekayaan milik desa yang berkaitan dengan penambahan dan pelepasan aset ditetapkan dengan peraturan desa sesuai dengan kesepakatan musyawarah Desa.
“Uang hasil penjualan tanah yang tidak masuk dalam rekening bendahara desa. Masyarakat umum tidak pernah tahu berapa pendapatan desa yang masuk dan digunakan untuk apa saja keuangan desa itu,” pungkas Sekan.
Namun, SPPT PBB wajib pajak (WP) dari sungai buntu tersebut berkata lain dan senada dengan yang disampaikan pelapor yakni atas nama PT Thai Union Kharisma Lestari (PT TUKL).