NOWTOOLINE, LAMONGAN – Ironi pembangunan daerah kembali dipertontonkan di Lamongan. Sebuah kantor kecamatan berdiri megah di Bluluk, namun tak kunjung berfungsi maksimal sejak dibangun tahun 2018. Kantor Camat Bluluk itu kini seperti bangunan tanpa jiwa mangkrak, dan berdiri di atas tanah yang statusnya belum tuntas: Tanah Kas Desa (TKD) yang belum sah secara administrasi.
Alih-alih menjadi pusat pelayanan publik, bangunan kurang lebih senilai Rp 1,3 miliar itu kini justru memaksa Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lamongan mengusulkan anggaran tambahan untuk menebus kesalahan masa lalu, pembelian tanah tukar guling yang belum jelas statusnya.
“Kita masih dalam tahap pengusulan anggaran ganti rugi untuk tahun anggaran 2026. Itu akan masuk pos Kecamatan Bluluk,” ujar Moch. Naim, Kepala Bagian Tata Pemerintahan Pemkab Lamongan, Selasa (5/8/2025).
Kantor Berdiri di Atas Tanah Bengkok
Yang menggelitik, bangunan megah itu bukan berdiri di atas tanah milik Pemkab, melainkan di atas lahan bengkok milik Sekretaris Desa (Sekdes) dan Kepala Dusun (Kasun) Bluluk. Dengan kata lain, pemerintah membangun kantor di atas tanah yang bukan miliknya—sebuah praktik yang secara hukum rawan dan mengundang tanya.
Untuk menghindari jeratan pelanggaran administrasi dan potensi pidana, Pemkab Lamongan kini berupaya “membayar utang masa lalu” lewat mekanisme tukar guling. Namun proses ini pun belum rampung dan terkesan dipaksakan ke belakang.
Menurut Naim, proses tukar guling dan rekomendasi teknis berada di bawah koordinasi Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Lamongan. Nantinya, kata dia, akan ada appraisal sebagai bentuk pertanggungjawaban.
Namun hingga kini, belum ada kejelasan kapan semua proses itu selesai. Kantor masih mangkrak, anggaran belum ada, dan tanah belum sah.
Musdes 2023 Jadi Alibi?
Kepala Bidang Pengelolaan Keuangan dan Aset Desa Dinas PMD Lamongan, Anang Budi Santosa, berdalih bahwa pihaknya telah mengawal Musyawarah Desa (Musdes) Bluluk pada 2023 yang membahas pembelian tanah pengganti TKD.
Namun ia sendiri mengakui, bila lokasi tanah pengganti berbeda dari yang dibahas saat Musdes, maka Musdes ulang harus digelar. Pertanyaannya: mengapa pemerintah daerah membangun terlebih dahulu, sebelum kejelasan lokasi dan status tanah selesai?
“Kalau lokasinya tidak sesuai dengan yang dimusyawarahkan, ya harus Musdes ulang,” katanya.
Pemerintah Terjebak Legalisasi Belakang
Alih-alih fokus pada pemanfaatan kantor dan pelayanan publik, Pemkab Lamongan kini justru sibuk mengurus legalitas di belakang hari. Camat Bluluk, M. Eko Triprasetyo, mencoba menenangkan publik dengan menyebut bahwa usulan anggaran ganti rugi adalah bentuk keseriusan pemerintah menjaga akuntabilitas.
“Ini bukan hanya soal fisik bangunan, tapi tentang tata kelola dan legalitas aset pemerintah,” ujarnya.
Namun publik bertanya-tanya: mengapa akuntabilitas baru menjadi perhatian setelah bangunan berdiri dan mangkrak?
Kerugian Negara Mengintai
Dengan kondisi bangunan yang tak digunakan secara optimal selama bertahun-tahun, potensi kerugian negara tak bisa dihindari. Dana APBD senilai Rp 1,3 miliar telah digelontorkan, namun hasilnya nihil dalam pelayanan publik. Sementara beban anggaran tambahan untuk pembelian tanah masih menghantui APBD 2026 mendatang.
Masalah Kantor Camat Bluluk kini menjadi cermin buruk perencanaan dan pengelolaan aset daerah yang serampangan. Transparansi yang didengungkan pemerintah justru tergerus oleh praktik legalisasi kebijakan yang ditarik mundur karena sebuah jurus lama yang sering dipakai untuk menutupi ketidaktertiban tata kelola aset negara.