NOWTOOLINE, LAMONGAN – Sorotan publik mengarah pada pengelolaan dana hibah anggota DPRD Jawa Timur. Kali ini, Desa Turi, Kecamatan Turi, Lamongan menjadi panggung polemik terkait dugaan penyimpangan alokasi dana hibah untuk rehabilitasi Madrasah Diniyah Takmilyah Awaliyah (MDTA) Babussalam.
Meski sesuai Nota Perjanjian Hibah Daerah (NPHB) Nomor 005/6727/012.3/2024 tertanggal 9 Juli 2024, MDTA Babussalam seharusnya menerima dana sebesar Rp 150 juta, pengurus madrasah hanya menerima Rp 130 juta. Fakta ini diungkap langsung oleh Miftakul Ni’am, pengurus MDTA Babussalam.
“Kalau di proposal itu nominalnya Rp 150 juta, tapi yang kami terima hanya Rp 130 juta. Kalau urusan agama, saya nggak berani memotong. Semua laporan juga sudah kami sampaikan ke Provinsi Jatim,” ujar Mifta, Sabtu (21/12/2024).
Ia menambahkan, dana yang diterima sudah digunakan sesuai kebutuhan rehabilitasi dan laporannya telah disampaikan ke pihak Provinsi Jawa Timur. “Karena amanahnya hanya segitu, ya kami kerjakan apa adanya sesuai nominal yang diterima,” katanya.
Pernyataan ini menimbulkan tanda tanya besar: ke mana sisa Rp 20 juta dana hibah tersebut? Dugaan adanya penyimpangan atau potongan tidak resmi kembali mencuat, mengingat dana hibah ini berasal dari anggota DPRD Jawa Timur dari Fraksi PKB.
Kejadian ini menjadi bukti baru bahwa transparansi dalam pengelolaan dana hibah masih menjadi tantangan besar, terutama di sektor pendidikan dan agama. Publik kini menunggu klarifikasi dari pihak terkait, khususnya DPRD Jawa Timur dan Pemerintah Provinsi.
Meski dana yang diterima digunakan sesuai kebutuhan dan laporan telah diserahkan, selisih Rp 20 juta menjadi pertanyaan besar. Apakah ini murni kesalahan administrasi atau ada oknum yang bermain di balik layar?
Kasus ini berpotensi melanggar sejumlah regulasi, di antaranya, Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang mengharuskan pengelolaan keuangan dilakukan secara transparan dan akuntabel.
Kemudian, UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang melarang penyalahgunaan wewenang yang merugikan negara. Dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang melarang penyimpangan dalam pengelolaan anggaran daerah.
Tak hanya itu, Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, juga melarang penggunaan dana publik untuk kepentingan politik.
Dana hibah ini sendiri berasal dari anggota DPRD Jatim Fraksi PKB. Dugaan bahwa sisa dana dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu semakin menguat di tengah lemahnya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan hibah.
Kasus seperti ini semakin menegaskan bahwa transparansi dalam pengelolaan dana hibah masih jauh dari harapan. Padahal, dana tersebut sangat krusial untuk mendukung sektor pendidikan agama. Menariknya, pembangunan madrasah ini tidak dimulai dari awal, melainkan melanjutkan bagian lantai 2 (dua).