News  

Eks Kades Jubel Kidul Terseret Skandal Manipulasi Sertifikat dan Dugaan Perampasan Hak Warga, Begini Dramanya

Tanah yang menjadi obyek sengketa mantan Kades Jubel Kidul Nuril Huda dan istrinya Suriati dengan Rusmi, warga Desa Jubel Kidul, Kecamatan Sugio, Lamongan, Jatim, (Foto : redaksi)

NOWTOOLINE, LAMONGAN – Sebidang tanah bersertifikat di Desa Jubel Kidul, Kecamatan Sugio, Kabupaten Lamongan, menjadi medan perseteruan dan tarik-menarik kepentingan antara warga biasa dan Kepala Desa (Kades) yang berkuasa pada periode 2013-2019.

Meski saat ini, Pengadilan Negeri Lamongan sudah resmi menolak seluruh gugatan perdata yang diajukan oleh mantan Kades Jubel Kidul, Nuril Huda, dan istrinya, Suriati, terhadap Rusmi. Tapi Nuril Huda masih memiliki hak mengajukan banding.

Dalam sidang putusan pada 22 Mei 2025, Hakim Ketua Yogi Rachmawan, S.H., M.H menyatakan pertimbangan bahwa Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 74 atas nama Rusmi yang terbit sejak 1987 adalah sah secara hukum. Sebaliknya, SHM No. 2713 atas nama Suriati dan enam pecahannya dinyatakan tidak sah dan tak punya kekuatan hukum.

Kisah ini bermula dari sertifikat hak milik Nomor 74 atas nama Rusmi, namun justru berujung pada munculnya enam sertifikat baru atas nama pihak lain, termasuk istri sang mantan kades.

Sengketa ini tidak berhenti pada ranah sipil, tetapi telah menjelma menjadi drama agraria yang mencerminkan gejala penyalahgunaan wewenang, manipulasi administrasi, dan dugaan pembiaran oleh aparat penegak hukum.

Sertifikat Lama, Pemilik Baru

Tanah seluas 1.443 meter persegi itu awalnya dimiliki Rusmi secara sah dengan sertifikat yang diterbitkan pada 1987. Sebagian lahannya ditempati seorang pria bernama Ramin, yang membangun rumah di atas sekitar 577 meter persegi. Sisanya dibiarkan kosong.

Namun, pada tahun 2021, Ramin justru memasukkan tanah tersebut dalam program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Anehnya, proses itu membuahkan SHM baru bernomor 2699 atas nama Ramin. Padahal tanah tersebut sudah terdaftar dan bersertifikat atas nama orang lain sejak lebih dari tiga dekade sebelumnya.

Perkara menjadi kian pelik karena pada tahun 2015, sisa lahan sekitar 814 meter persegi justru dijual oleh Ramin kepada Nuril Huda, yang kala itu menjabat sebagai Kepala Desa Jubel Kidul. Transaksi dilakukan tanpa sepengetahuan atau izin dari pemilik sahnya, Rusmi.

“Jual beli itu di bawah tangan. Tidak ada akta, tidak ada bukti peralihan hak,” kata Subari, Kuasa hukum Rusmi, Selasa (3/6/2025).

Dari Satu Sertifikat Menjadi Enam

Tanah yang dibeli Nuril Huda itu lantas diikutkan dalam program PTSL dan berubah menjadi SHM No. 2713 atas nama Suriati, istri Nuril. Belakangan, SHM tersebut dipecah lagi menjadi enam sertifikat baru, yakni No. 2847, 2848, 2849, 2850, 2851 dan 2852.

“Ini adalah contoh telanjang bagaimana proses sertifikasi tanah bisa disalahgunakan untuk memutihkan perampasan hak,” ujarnya.

Ia menuding kuat bahwa SPPF (Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah) digunakan secara tidak sah untuk menyulap tanah bersertifikat menjadi seolah-olah tanah negara tak bertuan.

“Padahal seharusnya menurut Permen ATR/BPN No. 6 Tahun 2018, setiap permohonan PTSL wajib melalui penelitian yuridis mendalam,” tuturnya.

Penegakan Hukum yang Dipertanyakan

Rusmi melaporkan kasus ini ke Polres Lamongan pada Juni 2023. Namun, menurut tim kuasa hukumnya, penyidikan berjalan tidak transparan dan sarat kejanggalan.

“SPDP awal menyebut empat tersangka dan memuat pasal 385 dan 263 KUHP jo. 55. Namun, pada Januari 2024, SPDP baru hanya menyebut satu tersangka, yaitu Ramin, dan pasal 55 dihilangkan. Yang lebih parah, pelapor tidak diberi tembusan perubahan SPDP tersebut,” katanya.

Jaksa bahkan mengembalikan berkas perkara tahap satu hingga tiga kali karena dianggap tidak lengkap. Baru pada September 2024 muncul nama baru sebagai tersangka, yakni Muhamad Mukid, S.H., dengan pasal berlapis yakni 385, 263, dan 266 KUHP jo. 55.

“Ini bukan sekadar maladministrasi. Ini dugaan perampasan hak sistematis yang difasilitasi oleh kekuasaan lokal dan dibungkam oleh pembiaran institusi hukum,” ucapnya.

Hukum untuk Siapa?

Kuasa hukum Rusmi mendesak Kapolres Lamongan mengevaluasi total penanganan perkara ini. “Jangan sampai hukum hanya berpihak pada mereka yang berkuasa. Ini saatnya Polri menunjukkan komitmennya pada keadilan,” ujarnya.

Sementara itu, Rusmi hanya menginginkan satu hal yaitu hak miliknya kembali. Ia tak pernah membayangkan tanah yang diwarisi dan disertifikasi sejak 1987 bisa berpindah tangan tanpa sepengetahuannya.

“Tanah itu hak saya. Sertifikatnya asli. Tapi sekarang, kok bisa jadi milik orang lain? Di mana letak keadilannya?” kata Rusmi.

Secara terpisah, Kasi Humas Polres Lamongan Ipda M Hamzaid membenarkan pihaknya telah menangani kasus sengketa mantan Kades Jubel Kidul Nuril Huda dan istrinya Suriati dengan Rusmi, warganya.

“Untuk pengaduan sudah ditangani oleh Unit Pidum Polres Lamongan,” ucap Hamzaid secara singkat.

Kasus sengketa tanah antara mantan Kades Jubel Kidul Nuril Huda dan Suriati istri dengan Rusmi ini menambah daftar panjang konflik agraria di Indonesia yang berakar dari praktik keliru dan penyalahgunaan dalam birokrasi pertanahan.

Penulis: AriandaEditor: P Bayu S