NOWTOOLINE, LAMONGAN – Tim Ahli Prakarsa Jawa Timur mendapati pertanggungjawaban APBD Tahun Anggaran 2020 Pemerintah Daerah harus menjadi early warning. Analis Kebijakan Publik Prakarsa Jatim, Madekhan Ali menilai Pemerintah Daerah (Pemda) di wilayah Jatim terkesan menjadikan kondisi pandemi Covid-19 sebagai alibi ketidaknormalan capaian kinerja APBD 2020.
“Pertama dalih pandemi Covid-19 target pendapatan daerah, khususnya PAD diturunkan drastis melalui APBD-P. Tetapi pada akhir tahun 2020 terbukti realisasi pendapatan daerah keseluruhan maupun khususnya PAD melampaui target,” ujar Madekhan Ali, Minggu (20/06/2021).
Bukan hanya melampui target setelah APBD-P, lanjut Made sapaan Madekhan Ali, tetapi juga melampui target sebelum APBD-P. “Ini bukti betapa kepanikan pandemi Covid-19 menjadi dalih untuk kesengajaan perencanaan anggaran dibuat semakin tidak akurat,” katanya.
Tesis yang demikian, Made menambahkan, setidaknya mengacu pada realisasi APBD Kabupaten Mojokerto tahun 2020 yang dapat diketahui melalui tabel Dinamika Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Mojokerto tahun 2020.
“Kedua, rendahnya realisasi anggaran penerimaan PAD yang diyakini tidak memiliki hubungan dengan pandemi Covid-19. Hal ini terungkap dari perbandingan perolehan PAD antar daerah di Jatim. Sekaligus hasil analisis ekonomi makro daerah maupun regulasi daerah terkait Covid-19, yang tidak mendukung argumentasi bahwa penurunan drastis perolehan pos PAD tertentu diakibatkan akibat situasi Pandemi Covid-19,” akunya.
Padahal, jelas Direktur Pasca Sarjana UNISLA Lamongan, masyarakat bisa melihat sejauh mana kinerja pemerintah daerahnya melalui Laporan Realisasi Kinerja pada siklus Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.
“Apakah terdapat sinkronisasi dari proses perencanaan hingga pertanggungjawaban ? Dan apakah pandemi Covid-19 berpengaruh pada kinerja penganggaran Pemerintah Daerah ?” ucapnya.
Kedua alibi kesengajaan tersebut, ungkapnya, juga menjadi modus yang patut diragukan akuntabilitasnya. “Itu bisa dicermati pada realisasi sejumlah pos penerimaan PAD di Kabupaten Lamongan, di antaranya realisasi hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan realisasi lain-lain PAD yang sah pada tahun 2020,” katanya.
Made menilai, 2 (dua) kabupaten di Jawa Timur yang disampling yakni, Lamongan dan Mojokerto menggambarkan bagaimana Tahun 2020 menjadi tahun minus transparansi dan akuntabilitas kinerja keuangan daerah di Jawa Timur.
“Kami yakin Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI Tahun 2020, akan banyak menemukan persoalan lemahnya pengendalian internal dan pelanggaran peraturan perundang-undangan pada pengelolaan anggaran daerah di Jatim Tahun 2020,” ujarnya.
Oleh karena itu, Made berharap, seyogyanya masyarakat jangan serta merta puas dengan kinerja APBD daerahnya. Ia berpesan jangan menyimpulkan tidak ada masalah anggaran publik hanya karena Laporan Keuangan APBD daerah tersebut mendapatkan predikat hasil pemeriksaan ‘Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)’ dari BPK RI. “Masyarakat harus kritis dan bertanya tentang faktor-faktor apa saja yang menyebabkan trend penurunan pertumbuhan PAD,” tuturnya.
Selain itu, beber Made, juga memastikan kejelasan faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan drastis penerimaan pada Pajak PBB, BPHTB dan Pendapatan Giro dan Bunga kas daerah, serta mengapa kinerja laba BUMD turun drastis padahal tidak terkait PSBB pandemi Covid-19.
“Akan sia-sia berbagai kebijakan untuk meningkatkan proporsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total Pendapatan Daerah, bila tidak ada pengawasan masyarakat dan niat baik pemerintah daerahnya,” ujar Tim Ahli Prakarsa Jawa Timur menilai dua kabupaten terkesan menjadikan kondisi pandemi Covid-19 sebagai alibi ketidaknormalan capaian kinerja APBD 2020. ()