NOWTOOLINE, JAKARTA – Pengelola dan pemilik Ponpes Amanatul Ummah Pacet Mojokerto Jawa Timur harus bertanggungjawab secara pidana akibat kematian santri asal Kabupaten Lamongan, Gallan Tatyarka Raisaldy.
Pasalnya, Gallan meninggal dunia akibat kekerasan fisik diduga terjadi di dalam ponpes tempat menimba ilmu agama yang dipercaya baik dan benar oleh orang tua korban selama beberapa tahun terakhir.
Namun di Ponpes Amanatul Ummah Pacet Mojokerto Jatim justru mengantarkan korban ke tempat peristirahatannya terakhir.
Atas peristiwa kematian santri asal Kota Soto tersebut, Komnas Perlindungan Anak mendesak Polres Mojokerto untuk bekerja keras agar mengungkap latarbelakang kematian Gallan.
“Pihak Ponpes harus bertanggungjawab secara Pidana. Karena terduga pelaku masih usia anak. Sehingga diperlukan penyelesaian hukum berbasis anak agar kasus menimbulkan efek jera,” ujar Arist Merdeka Sirait, Minggu (30/1/2022).
Arist meminta, siapapun yang mengetahui peristiwa kekerasan fisik yang diderita Gallan wajib untuk memberikan informasi termasuk pemilik dan pengelolah termasuk pengurus dan pengelolah ponpes tersebut.
Karena, menurutnya, itu melanggar ketentuan UU RI No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.
“Jadi setiap orang yang mengetahui terjadinya kekerasan maka dapat dikategorikan ikut membiarkan kejadian tersebut. Sehingga akan dikenakan ancaman minimal 6 bulan maksimsl 5 tahun penjara,” katanya.
Untuk selanjutnya, Komnas Perlindungan Anak akan menugaskan Tim Litigasi dan Pemulihan Sosial Anak dalammemantau dan mengawal sepenuhnya kasus ini.
“Saya berharap kasus ini terang benderang,” ucap Arist.
Sementara itu, Kuasa Hukum Ahmad Umar Buwang menilai, penetapan lima tersangka kasus meninggalnya santri asal Lamongan Gallan Tatyarka Raisaldy di Ponpes Amanatul Ummah Pacet Mojokerto masih belum fair dan kurang memenuhi rasa keadilan.
Ia juga menyebut, sangat disayangkan kenapa dari pihak pondok pesantren tersebut tidak ada yang ditetapkan sebagai tersangka pula. Entah itu, kata dia, bagian pengurus pondok atau bagian penanggung jawab lainnya.
“Keluarga almarhum juga merasa masih janggal dan ada yang kurang. Karena berapapun jumlah tersangka yang sudah ditetapkan saat ini, yang lebih bertanggung jawab sepenuhnya adalah pihak pondok,” ujar Buwang.
Buwang menjelaskan, kasus penganiayaan hingga menyebabkan kematian ananda Gallan Tatyarka Raisaldy tersebut terjadi berada di dalam asrama pondok. Jadi secara otomatis pihak pondok juga mengetahui secara jelas kejadian tersebut.
“Di dalam asrama pondok itu kan ada penanggung jawab dan pengawasnya masing-masing, semisal ada santri yang sakit atau terkena apa-apa, merekalah yang lebih tahu terlebih dahulu. Jadi kasus kematian itu mereka juga harus ikut bertanggung jawab,” ungkapnya.
Apalagi, kata dia, korban (almarhum) pasca dianiaya oleh kelima rekan santrinya pada waktu itu, menurut keterangan dari pengurus pondok saat ditemukan dalam kondisi tergeletak, dan diduga sudah dalam keadaan tidak bernyawa.
“Kami tetap menghormati penetapan kelima tersangka yang merupakan anak di bawah umur tersebut, atas penganiayaan hingga menyebabkan kematian yang dialami oleh almarhum ananda Gallan Tatyarka Raisaldy,” ucapnya.
Ia menuturkan, sebagai kuasa hukum dari keluarga korban (almarhum) pihaknya akan tetap mengawal sepenuhnya jalannya persidangan. Dia juga berharap hakim bisa memutus dengan seadil-adilnya sesuai aturan hukum yang berlaku.
Sebagai informasi, bahwa Kejaksaan Negeri Mojokerto saat ini sudah menetapkan lima tersangka kasus penganiayaan yang menewaskan Gallan Tatyarka Raisaldy santri asal Lamongan. Berkas dinyatakan sudah lengkap (P21).
“Kelima tersangka berserta barang bukti sudah diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU). Lima tersangka masuk dalam kategori anak, sehingga tidak bisa menyebutkan secara detail identitas para tersangka,” ungkap Kasi Pidum Kejari Mojokerto, Ivan Yoko terkait tanggung jawab secara pidana dari pihak ponpes atas kematian Gallan.