Bisnis  

Kos-Kosan Beralih Jadi Homestay Tanpa Ijn, PHRI Lamongan Sebut Kurangnya Penindakan Tegas dari Pemerintah

Affandi Rusdi, Ketua PHRI Lamongan saar ditemui di Grand Hotel Mahkota 2 Lamongan dan Cafe Laras-Liris, (Foto : Arianda)

NOWTOOLINE, LAMONGAN – Kos-kosan di wilayah Kabupaten Lamongan saat ini mulai menjamur. Bahkan disinyalir ada yang telah menjadi homestay tanpa kejelasan ijin alih fungsinya.

Padahal hunian dengan sistem pembayaran bulanan itu, di Lamongan sistem sewanya sudah ada yang harian. Bahkan telah bekerja sama dengan salah satu aplikasi perhotelan di Indonesia.

Apabila hal ini dibiarkan terus menerus tanpa ada tindakan penertiban maka akan mengancam bisnis perhotelan di Lamongan. Hal itu, terbukti dari jumlah pendapatan dan okupansi yang terus merosot setiap tahunnya.

Ketua PHRI (Perhimpunan Hotel dan Resto Indonesia) Kabupaten Lamongan, Affandi Rusdi mengungkapkan jika hotel yang terdampak dari fenomena itu mayoritas berada di dikawasan Lamongan Kota.

Rusdi menyebut okupansi atau hunian hotel di kawasan Kota Lamongan saat ini hanya diangka 20 persen. Bahkan, menurutnya, mulai dari tanggal 25 Desember hingga hari H Tahun Baru hanya bertanbah 5 persen.

“Okupansi hotel di Lamongan sampai dengan hari H Tahun Baru perkiraan maksimal hanya mencapai 25 persen. Kalau di masa pandemi kemarin tahun 2020-2021, maksimal 10 persen,” kata Rusdi, Kamis (15/12/2022).

Menurunnya tingkat hunian hotel disebabkan oleh beberapa hal, jelas Rusdi, salah satu diantaranya kos-kosan yang disinyalir menjadi home stay tanpa perijinan yang jelas dengan harga sewa kamar sangat murah dibandingkan hotel.

“Kos-kosan mulai muncul sejak 2017 silam. Dan lambat laun berkembang menjadi besar di tahun 2019 tanpa ada beban aturan perijinan seperti hotel setiap pembuatan sstu kamar,” ujarnya.

Lebih lanjut, Rusdi mengemukakan, harusnya kos-kosan itu tidak boleh lebih dari 20 kamar. “Kenapa sampai saat ini kos-kosan masih leluasa. Dan dengan murahnya harga sewa, pelanggan banyak yang beralih ke kos-kosan dan berlanjut sampai sekarang,” ucapnya.

Rusdi menuding, kondisi ini ditengarai kurangnya pengawasan dan penindakan oleh Satpol PP Lamongan. Pasifnya pemerintah, terang Rusdi, membuat usaha kos-kosan menjadi ladang basah dan makin menjamur.

“Makanya ini dari aparat tentunya (Satpol PP), mengenai perizinan apakah ranahnya di sana itu betul-betul kos-kosan atau dibuat home stay. Karena usaha ini sangat mempengaruhi okupansi hotel,” jelasnya.

Jika terus berlarut-larut, Rusdi khawatir, cepat atau lambat dikhawatirkan akan berpengaruh kepada pendapatan daerah dari sektor pajak.

“Ya harus dipertegas satu mengenai perizinan terutama mengenai status kos-kosan ini apa homestay atau yang seperti apa ini harus wajib didata,” tuturnya.

Lebih jauh, Rusdi berharap, perijinan harus diperketat mengingat banyak diantara pemilik tempat yang cenderung menyepelekan izin.

“Perizinan tentunya harus menunjang ke pajak. karena kalau terus secara sembunyi-sembunyi akan menjadikan polemik. Jadi harus jelas apakah kos, wisma, atau homestay,” katanya.

Perlu diketahui, jika terdapat 14 hotel di Lamongan yang mengeluhkan perihal kos-kosan berkedok homestay. Para pemilik usaha mulai mengkhawatirkan terkait pesatnya fenomena kos-kosan beralih menjadi homestay tanpa kejelasan ijin.